KORPRI Dianggap Lepas Tangan Hadapi Kasus Hukum PNS atau ASN

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) sebagai organisasi yang menaungi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) baru saja berulangtahun ke 47, tanggal 29 November 2018. Presiden Joko Widodo menyebut, Korpri telah memberikan kontribusi besar bagi negara selama ini melalui pengabdiannya kepada masyarakat.

“Korpri telah menjadi salah satu pengikat dalam memperkokoh persaudaraan dan memperkokoh persatuan nasional dalam keberagaman,” kata Jokowi – sapaan akrab Joko Widodo.

ASN juga telah menjadi garda terdepan dalam melayani masyarakat dan menjadi motor penting dalam pembangunan nasional. Jajaran ASN, sudah ikut serta menjadi teladan dalam mengedepankan budi pekerti, etika, dan profesionalisme.

Namun, di balik gemerlap “pujian” Jokowi selaku kepala negara, tidak sedikit jeritan dan erangan yang menimpa warga nergara penyandang sebutan “abdi negara” ini.

Lika-liku yang dilalui, gampang-gampang susah. Artinya, untuk mendapatkan status PNS atau ASN yang dinaungi Korpri, itu memang demikian. Ada yang otomatis jadi PNS atau ASN, tetapi tidak kurang ratusan ribu orang lainnya terpaksa menempuh “cobaan”.

Kendati sudah menjadi “abdi negara” belasan tahun, status mereka belum PNS atau ASN. Ada yang meniti karir sebagai pegawai honorer, pegawai tidak tetap, pegawai kontrak, dan sebutan lain untuk tiap jenis profesi. Misalnya, GTT (Guru Tidak Tetap) untuk guru bantu atau guru sukarela.

Di era Reformasi ini, seringkali terjadi unjukrasa atau demo yang dilakukan oleh bakal calon pegawai dan guru itu. Bahkan mengalahkan aksi yang biasa dilakukan buruh perusahaan swasta. Penyebabnya, adalah remunerasi pengangkatan PNS dari pegawai honorer. Pertama didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No.48 tahun 2005 dan diubah lagi PP No.56 tahun 2012. Akibat dari ke dua PP itu, lahirlah “abdi negara” dengan sebutan tenaga honorer “Kategori” (K) 1, K2 dan K3.

Para tenaga kerja K1, K2 dan K3 itu bekerja selayaknya PNS atau ASN yang gajinya berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) di tingkat Pusat dan APBD di daerah. Namun gaji atau upah mereka jauh di bawah standar gaji PNS, bahkan ada yang di bawah standar UMK (upah minimum Kota/kabupaten) dan UMP (upah minimun provinsi) yang ditetapkan terhadap karyawan atau buruh swasta.

Dengan dasar itu, maka di kantor-kantor atau instansi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, yang bekerja atau pegawai tidak seluruhnya yang berstatus PNS atau ASN. Masih ada yang disebut bakal calon PNS atau CPNS, yakni PTT (Pegawai Tidak Tetap) itu. Untuk itulah, istilah PTT akan dihapus dan disebut P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).

Nah, bagaimana kedudukan mereka yang belum PNS atau ASN itu di KORPRI? Selama ini mereka masih menjadi “anak tiri”, belum diakui. Sehingga, dalam menyalurkan usul-usul yang berhubungan dengan kepentingan, khususnya “nasib” mereka, yang tampil adalah organisasi di luar KORPRI. Ada yang disebut Forum PTT, Forum GTT, dan macam-macam tergantung kepentingan.

Apabila para P3K yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja atau kontrak itu toidak dinaungi oleh KORPRI, apakah status mereka adalah “buruh swasta”. Ini juga belum tentu, sebab mereka yang berstatus pegawai honorer, PTT, GTT, P3K atau sebutan lainnya melakukan “perjanjian kerja perorangan” dengan pejabat pemerintah yang menaungi. Memang, ada juga pegawai honorer itu yang dikontrak melalui perusahaan swasta “penyedia tenaga kerja”.

Terlepas dari status masing-masing pegawai pemerintah, baik yang PNS maupun PTT tentu memerlukan perlindungan hukum apabila yang bersangkutan “terjebak dalam masalah hukum”. Khususnya saat melaksanakan tugas pemerintahan.

Seharusnya negara ikut membela, bahkan memperjuangkan sebagai seorang dengan asa praduga tidak bersalah. Pemberian bantuan hukum mutlak diberikan kepada setiap orang, karena kedudukannya sama di muka hukum.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan, pendampingan dan bantuan hukum kepada ASN yang terjerat hukum karena pelaksanaan tugasnya. Namun bantuan hukum tidak diberikan kepada ASN yang terlibat masalah hukum dan atrau tindak pidana khusus seperti korupsi, narkoba dan terorisme.

Ternyata, selama ini KORPRI “lepas tangan”. Organisasi pegawai Republik Indonesia ini merasa tidak mempunyai kekuatan melakukan pembelaan terhadap PNS atau ASN, apalagi PTT atau P3K yang tersandung masalah hukum. Alasannya, KORPRI adalah PNS. Padahal PNS tidak boleh menjadi pengacara atau advokat bagi PNS yang terkena perkara. Baik pidana, perdata, peradilan agama dan TUN (tata usaha negara). Kendati ada LBH KORPRI di beberapa daerah, namun masih tetap dianggap mandul. (**)

Dikirim dari ponsel cerdas Samsung Galaxy saya.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *