Membangun Good Legacy

  • Whatsapp

Review Buku Denny JA : MEMBANGUN LEGACY, 10 P Untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek

MEMBANGUN GOOD LEGACY Yuswohady  Marketing konon merupakan profesi paling tua yang lahir bahkan sebelum bumi yang kita tempati ini hadir. Kita tentu tahu cerita Nabi Adam dan Hawa. Dikisahkan, awalnya Adam dan Hawa hidup damai di surga. Namun kondisi berubah total saat ular (iblis) membujuk Hawa untuk memakan Buah Terlarang. 
Awalnya ular berhasil meyakinkan Hawa untuk mencicipi Buah Terlarang, namun pada gilirannya Hawa pun berhasil meyakinkan Adam untuk juga memakannya. 


Kesalahan fatal melanggar larangan Tuhan itulah yang kemudian mengubah nasib manusia hingga diturunkan ke Bumi dan kemudian beranak-pinak menjadi tujuh miliar lebih seperti sekarang ini. Lepas dari pesan moral di balik kisah Nabi Adam tersebut, kemampuan si ular meyakinkan Hawa memakan Buah Terlarang adalah bukti hadirnya marketing bahkan sebelum bumi ini ada. Ya, karena esensi marketing adalah “meyakinkan”. Meyakinkan apa saja: meyakinkan pelanggan untuk membeli produk yang dijual; meyakinkan ibu rumah tangga mengenai kebenaran klaim produk yang diiklankan di televisi; meyakinkan bos di kantor agar menerima ide yang dilontarkan si anak buah; meyakinkan wisatawan untuk datang ke suatu destinasi wisata; meyakinkan investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara. Jadi jangan lupa, marketing tidak hanya sebatas untuk produk dan perusahaan, tapi berlaku untuk semuanya. Juga untuk ide dan konsep; untuk karir; untuk ber-networking dan menjalin kemitraan; untuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berjuang menyelamatkan hutan atau pemanasan global.


Marketing juga berlaku untuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang berupaya memberantas korupsi; untuk kota dan daerah; untuk negara atau lembaga multilateral semacam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) atau Bank Dunia. Termasuk juga untuk partai/kandidat yang ingin meyakinkan para pemilik suara untuk memilihnya, agar diberikan amanah untuk menyumbangkan darma baktinya menciptakan perubahan dan membangun legacy demi kebaikan masyarakatnya. Melalui buku ini, Denny JA menuangkan sains dan seni meyakinkan ini di lapangan politik khususnya pertarungan partai/kandidat di perhelatan pilkada (pemilihan umum kepala daerah) dan pemilu (pemilihan umum). 
Berbekal pengalaman panjang memenangkan partai/kandidat di berbagai pemilu/pilkada, ia menuangkan butir-butir wisdom-nya ke dalam sebuah model konseptual yang begitu renyah kita santap dan

diimplementasikan. Tentu saja sains dan seni meyakinkan kini tak sesederhana Si Ular meyakinkan Hawa memakan Buah Terlarang. Proses seorang memenangkan pemilu/pilkada harus dilewati melalui jalan berliku, perencanaan yang super disiplin, dan detail-detail strategi yang sangat kompleks. Itu sebabnya jam terbang dan wisdom seorang Denny JA punya poin krusial bagi bobot buku ini. Tak hanya sekadar pemahaman konseptual dan keilmuan, pengalaman lapangan “nyebur” di dalam detail-detail proses pemenangan akan menentukan keampuhan taktik dan strategi yang ditawarkan buku ini.   Pengalaman saya berkecimpung di dunia marketing selama lebih dari 20 tahun menghasilkan kesimpulan sahih, bahwa “marketing is more about art than science”. Ya, karena dunia marketing akan selalu berhadapan dengan psikologi manusia yang berubah dinamis tak bisa kita tebak juntrungannya. Memang marketing adalah sains karena di dalamnya ada ilmu psikologi, sosiologi, antropologi, perilaku, neurosains, statistik, komunikasi, manajemen, juga Hukum Ketiga Newton “aksi-reaksi” yang begitu pekat mewarnai dunia marketing. Namun di balik berbagai rigiditas teori keilmuan itu ada “keindahan” dan seni dalam mengelaborasi berbagai disiplin keilmuan yang begitu lebar rentangnya tersebut menjadi sebuah formula strategi yang fit dengan situasi yang berubah dinamis. Memenangkan produk di pasar,

memenangkan negara dalam kancah persaingan global, dan memenangkan kandidat dalam pilkada membutuhkan tak hanya metodologi dan konsep sains yang rigid. Tapi yang utama justru kejelian dan sense dari si marketing strategist dalam melihat situasi pemilihan dan kemudian meracik formula pemenangan yang tepat. Singkatnya, saya ingin mengatakan bahwa:Marketing is more about art….and marketing art is about strategist’s wisdom. Disinilah letak unique value proposition buku ini. Keutamaan buku ini terletak bukan pada telusuran literatur yang ndakik-ndakik, tapi oleh butir-butir wisdom penulis yang dituangkan setelah melalui perenungan mendalam dan kemudian menghasilkan “eureka” di sela-sela kesuntukkan di tengah kungkungan pandemi. Butir-butir wisdom itu dirumuskan secara jernih melalui formula yang oleh penulis diberi label: 10P.   Sekelumit saya ingin membedah 10P ini dari sisi model konseptualnya. Kalau diringkas, sesungguhnya marketing strategy apa pun bentuknya selalu mengandung tiga pilar dasar yaitu: customer management, product/value management, dan marketing management. Pilar pertama menyangkut pemetaan, pemahaman, dan pemilihan konsumen/audiens. Yang kedua menyangkut perumusan value yang ditawarkan ke konsumen. Dan yang ketiga adalah cara menyampaikan value tersebut melalui saluran, media (fisikal-digital), dan aktivasi yang ada, termasuk menjaga kepercayaan konsumen dengan membangun loyalitas dan kepercayaan. Proses marketing selalu berawal dari pemahaman terhadap perilaku dan kebutuhan konsumen (customer-orientation atau market-orientation). Setelah paham konsumen, maka si marketer merancang value yang ditawarkan sesuai dengan perilaku dan kebutuhan konsumen (product-customer fit). 
Setelah menemukan keselarasan antara produk dan konsumen, maka selanjutnya si marketer menggunakan berbagai saluran, media, dan aktivasi untuk menjangkau konsumen tersebut. Dalam formula 10P, customer management tercermin dari P1 (Pro-Innovation), P2 (Public Opinion), P3 (Polling), P4 (Profiling). Esensinya, 4P pertama ini adalah upaya si marketer untuk memahami karakteristik, perilaku, preferensi, aspirasi, harapan, dan kebutuhan massa pemilih yang diperoleh melalui serangkaian survei kuantitatif/kualitatif. Product Management tercermin dari P5 (Positioning) dan P6 (Product). Intinya, setelah massa pemilih terpetakan dan terprofilkan, maka partai/kandidat harus bisa memosisikan diri di benak pemilih (voter’s mind) sesuai preferensi, aspirasi, dan kebutuhan mereka. Michael Porter, guru strategi, akhirnya menyimpulkan bahwa “jantung” sebuah strategi adalah positioning yang berisi keunikan (differentiation) yang tidak dimiliki oleh pesaing.  “Strategy is the creation of a unique and valuable position, involving a different set of activities,” ujarnya. Keindahan strategi ditentukan oleh kemampuan mengambil sebuah “posisi unik” yang “dibeli” oleh massa pemilih.   Diferensiasi inilah yang kemudian diterjemahkan di dataran taktis menjadi Product (P6) atau program-program yang ditawarkan partai/kandidat kepada massa pemilih. Karena itu Product tak lain adalah value proposition yang “diarahkan” oleh positioning sehingga ampuh meyakinkan massa pemilih untuk memberikan suaranya kepada partai/kandidat. Sementara Marketing Management tercermin dari P7 (Pull Marketing), P8 (Push Marketing), P9 (Post Election), dan P10 (Political Legacy). P7 dan P8 adalah upaya marketing sebelum si kandidat terpilih, sementara P9 dan P10 adalah upaya marketing setelah si kandidat terpilih dan membuktikan janji-janjinya selama kampanye pemilu/pilkada. Melalui sekilas kupasan model konseptual ini saya ingin mengatakan bahwa formula 10P sudah begitu komprehensif memasukan pilar-pilar kunci strategi marketing. Tak hanya dari sisi content (“what”: elemen), tapi juga dari sisi content (“how”: alur/proses) karena pendekatannya yang sistematis dan runut. Karena itu tak diragukan lagi, karya Denny JA ini memenuhi dua unsur kunci bobot sebuah buku. 
Pertama, bangunan model konseptual yang robust, sistematis, dan komprehensif. Kedua, percik-percik wisdom yang diperoleh melalui pengalaman panjang, yang melandasi dan mewarnai seluruh analisis, pendekatan, dan formula yang ditawarkan buku ini. Dua unsur inilah “point of differentiation” dari buku ini. Namun bukan berarti ini adalah end of the story. Dunia marketing berevolusi dari pendekatan “product-driven” ke “market/customer-driven” dan terakhir “purpose-driven” atau “values-driven”. Evolusi marketing terakhir ini menyandarkan pentingnya nilai-nilai, moral, dan etik dalam pendekatan marketing. 
Beberapa istilah diberikan para pakar untuk pendekatan baru ini seperti Values-Based Marketing, Mission-Driven Marketing, atau Purpose-Driven Marketing. Dalam dunia marketing politik, saya kira menempatkan nilai-nilai, moral, dan etik ke dalam “jantung” strategi marketing merupakan sebuah urgensi yang tak bisa ditawar lagi. Kenapa begitu? Karena “output” dari proses marketing politik adalah partai pemenang atau pemimpin (bupati, gubernur, presiden) yang begitu pekat mewarnai nasib dan carut-marutnya suatu daerah/negara dan masyarakat di dalamnya.   Ketika sebuah proses marketing politik menghasilkan output yang “salah” berupa partai/pemimpin yang tiran, korup, atau tak kompeten, maka yang tercipta adalah bencana kemanusiaan yang luar biasa dahsyat yang dampaknya bisa begitu jauh hingga ke tujuh turunan. Marketing politik seharusnya dilandasi mission dan purpose untuk menghasilkan good legacy, bukan sebaliknya bad legacy yang menyengsarakan masyarakat. Karena itu 10P seharusnya tidak bebas nilai. Harus ada nilai-nilai dan moralitas yang melandasi pelaksanaannya. Karena itu sekonyong-konyong saya terusik mengusulkan satu P lagi untuk melengkapi formula 10P yaitu: Purpose. Tapi tentu saja bukan untuk edisi sekarang, mungkin di edisi-edisi mendatang. Satu lagi, P tambahan itu bukan masuk menjadi P yang ke-11, tapi P yang ke-1.***
Sumber tulisan: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/3238427189586741/?extid=p7b1msE38nDMi666&d=n 
 -000-

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait