“Mencintaimu Adalah Agamaku”

  • Whatsapp

– Inspirasi dari Film “El Cuaderno de Tomy (Notes For My Son, 2020)

Denny JA

“Tak bisa lagi kulihat dirimu.
Cintaku padamu dari Tuhan.
Kini membuatku lebih menderita.

Kau tak lagi di sisiku, kasihku.
Hanya sepi berdiam di hati.

Kau lah alasan aku hidup.
Mencintamu adalah agamaku.”

Lirik itu terjemahan bebas dari lagu berbahasa Spanyol: Historia de un Amor. Ditulis oleh Carlos Eleta Almaran.

Ia memegang rekor sebagai pencipta lagu yang paling banyak diterjemahkan dan dinyanyikan di seluruh dunia. Mulai dari benua Asia, Afrika, Eropa, hingga Amerika. (1)

Bisa dikatakan, inilah lagu bersama masyarakat dunia tentang cinta. Ungkapan kasih sayang dalam liriknya berlaku universal.

Itu cinta suami ke istri, dari pemuda ke pemudi, dari seorang nenek ke sahabat, ataupun dari seorang Ibu pada anaknya.

Pernah lagu ini menjadi soundtrack film Mexico, Historia de un Amor (1956), dibintangi oleh Libertad Lamarque.

Lagu itu kembali saya dengar dari film Argentina: El Cuaderno de Tommy. Diterjemahkan menjadi Notes for My Son (2020)

-000-

Film ini diangkat dari kisah sebenarnya.

Heather McManamy, menderita kanker payudara di tahun 2015. Menjemput kematian, Ia menulis banyak surat.

Setiap surat seperti pesan kasih sayang untuk sahabat dan keluarga. Tapi yang lebih sering, surat itu Ia buat untuk putrinya tercinta berusia 4 tahun.

Putrinya bernama Brianna begitu penuh mengisi pikiran. Ia acap merenung, siapa nanti yang akan menjaga sang putri jika Ia tiada.

Maka Ia pun sempatkan menulis serial surat untuk sang putri. Itu surat berisi nasehat hidup. Bagaimana agar Brianna kelak bisa hidup bermakna, berbahagia, walau Ibu tak lagi mendampingi.

Ketika Heather menulis itu, Brianna belum bisa membaca. Ia berharap, kelak ketika Brianna remaja, suaminya memberikan surat-surat itu.

Ia ingin Brianna ingat. Betapa ia, ibunya, begitu mencintainya. Betapa “Mencintamu adalah Agamaku.”

Setelah Heather wafat, suaminya menerbitkan aneka surat itu dengan judul buku, “Cards For Brianna: A Mom’s Message of Living, Laughing and Loving as Time is Running Out.”

-000-

Buku ini menjadi inspirasi film “Notes for My Son.” Brianna yang perempuan menjadi Tomy, lelaki, dalam film itu.

Di ruangan itu, dalam sepi, Heather, di film Ia bernama Maria, sangat sedih. Ia ajak suami berdiskusi.

“Kita harus tentukan tanggal. Kapan sebaiknya aku mati.” Suami terkejut, tapi diam memahami.

Dokter menyatakan kanker sudah menyerang organ vital. Tak ada lagi harapan.

Maria sudah berdiskusi dengan dokter. Ia dapat memilih hari kematiannya. Di hari itu, Ia akan diberi obat penenang, yang berujung pada kematian.

Berdua mereka membuat jadwal. Kapan para sahabat besuk untuk terakhir kali. Yang terpenting, sebelum Maria hilang kesadaran, Ia ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan Tomy, anak satu satunya, berusia 4 tahun.

Problemnya, dokter yang setuju untuk mengatur waktu kematian, berubah pandangan.

Maria tiba tiba menjadi terkenal. Ia acapkali menuliskan pengalamannya menjemput kematian di akun twitter.

Itu menjadi kisah unik. Ekspresi hatinya tertulis di akun Twitter. Mulai dari kesedihannya meninggalkan anak kesayangan. Kemarahannya pada kanker. Pandangannya soal hidup bermakna.

Stasiun TV pun mengangkat kisah Maria. Ia diwawancara. Maria juga menjadi kisah utama di media cetak.

“Mengapa rencana itu dibatalkan,” tanya suami kepada dokter? Maria sudah sangat menderita. Tak ada harapan. Biarkan Ia memilih waktu kematiannya.”

Ujar dokter, “kondisi sudah berubah. Maria kini terkenal. Publik mengawasinya. Kami tak ingin disalahkan mempraktekkan Euthanasia.”

Di banyak negara, Euthanasia, hak individu untuk mati, masih kontroversial. Berhak kah seseorang memilih mati? Bolehkah dokter membantu seseorang yang memilih mati?”

Bagaimana dengan pasien yang tak lagi ada harapan hidup? Bagaimana jika pasien itu sangat menderita menjemput kematian yang tak kunjung tiba? Bolehkah Ia mempercepat kematian?

Perdebatan soal hak untuk mati cukup memberi warna film ini. Berbagai solusi dicari.

Mulai dari dibuatkan formulir permintaan (untuk mati) yang ditanda-tangani pasien sendiri. Khawatir formulir itu tak cukup, lalu harus ada legalisasi notaris.

Suami Maria pun mencari notaris yang bersedia melegalisasi hak pasien mempercepat kematian.

Tapi pimpinan rumah sakit tetap tak nyaman. Agar rumah sakit tak terlibat, diatur cara lain. Bagaimana jika pasien dibawa pulang ke rumah?

Praktek Euthanasia dilakukan di rumah saja. Jangan dokter, tapi suami yang menginjeksi obat pembawa kematian?

-000-

Perdebatan intelektual soal Euthanasia penting dan menarik di film itu.

Tapi di film Notes for my Son, kisah cinta Ibu dan anak lebih menyentuh. Lebih membuat air mata menetes.

Suami Maria masuk ke kamar perawatan. Langkahnya terhenti. Maria dan bocah kesayangnya Tomy, sedang tertidur bersama. Mereka Berpelukan.

Tak lama kemudian, Maria wafat.

Lagu itu kembali mengalun;

“Kau tak lagi di sisiku, kasihku.
Mencintaimu adalah Agamaku.”*

Maret 2020

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait