Menggagas Fikih Pandemi

  • Whatsapp

(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)
Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

Sejak SARS-CoV-2 yang menyerang sistem pernapasan yang kini lebih dikenal dengan covid-19 merebak, hampir seluruh manusia seantero dunia panik. Para kepala negara pun dibuat pusing tujuh keliling. Kehadirannya yang menggegerkan manusia planet bumi ini, mampu menghadirkan ketakutan sebagian besar manusia. Virus ini telah berhasil menebar teror tidak saja bagi orang awam, tetapi juga para tokoh penting. Ketakutan sebagian besar manusia, terutama para pemegang otoritas, telah membuat mereka berpikir keras, bagaimana mencegah, mengobati, dan mengubur. Pencegahan dimaksudkan agar virus yang hanya berdiameter 125 nanometer (0,125 mm) itu tidak menyebar kemana-mana. Pengobatan dimaksudkan untuk mengatasi orang yang sudah terpapar virus yang belum ada obatnya ini, agar bisa sembuh dari sakit dan tidak sampai menjadi tambahan angka korban berkutnya. Penguburan, dimaksudkan agar virus yang menular dari manusia ke manusia ini tidak menular kepada orang-orang yang memulasara jenazah. Sejumlah langkahpun dilakukan oleh para pembuat kebijakan di setiap Negara dengan mengacu kaidah-kaidah ilmiyah. Para pakar kesehatan yang terorganisasi secara internasional, (sebut saja: WHO) pun telah memuat kaidah-kaidah yang bernuansa struktural yang harus dipatuhi oleh setiap negara. .Akibat sejumlah kebijakan itu, tatanan kehidupan masyarakat pun nyaris berubah hampir 180 derajat.

Di samping ada persoalan sosial yang juga tidak kalah sengitnya, di antara kebijakan internasional dan nasional menyikapi pandemi ini ternyata banyak yang bersingungan ajaran agama. Terdapat ajaran agama, baik yang sudah baku maupun yang masih debatable (fikih) harus “terganggu” oleh kebijakan-kebijakan mengatasi pandemi. Selanjutnya, dampaknya mudah ditebak. Sejumlah kebijakan mengenai covid-19 sering menuai pro dan kontra.

Yang pro tentu mencari sejumlah dalil-dalil agama yang secara argumentatif tentunya dapat melegitimasi pendapatnya. Celakanya, yang kontrapun tidak kalah sengit dan bahkan nyelekit, melakukan hal sama. Pada saat demikian, masyarakat awam akan dibuat bingung sembari bertanya, kemana hendak mengikut. Sebab, masing-masing pihak punya dalil yang tampaknya maton. Khusus, Indonesia diskursus dalil menyikapi pandami semakin membahana ketika harus bergulat dengan persoalan politik yang nyaris tak berujung ini. Lembaga yang dianggap berkompeten seperti Majelis Ulama Indonesia pun, nyaris tidak digubris ketika fatwa-fatwanya tentang covid-19 berseberangan dengan pihak tertentu. Padahal, untuk sebuah fatwa, lembaga agama bergengsi ini telah melibatkan berbagai disiplin ilmu.

Melihat realitas tersebut, sekalipun agak terlambat, tampaknya sudah waktunya dibuat panduan berupa rumusan faham keagamaan bagaimana menyikapi pandemi, bagaimana melakukan ibadah baik yang ritual maupun yang bersifat sosial. Orang-orang yang berkompeten, seperti model MUI, perlu duduk bersama membuat rumusan-rumusan ulang ajaran agama seperti yang dilakukan oleh para ulama ketika membuat rumusan-rumusan ajaran agama sebagaimana termuat dalam berbagai kitab fikih. Para ahli agama atau ahli terkait yang selama ini secara antagonis berseberangan dan terkesan ngriwuki kebijakan pemerintah harus bersedia diajak duduk bersama. Jargon mereka: Hum rujalun wanahnu rijalun (mereka laki-laki, kamipun laki-laki) seperti yang diucapkan Imam Abu Hanifah harus dibarengi kesediaan duduk bersama untuk saling berargumentasi dalam satu meja. Koar-koar di luar, dengan pendapat yang belum teruji kebenarannya harus mulai dihentikan.

Forum penting itu pastinya akan melibatkan para tokoh ormas-ormas Islam. Kalaupun mereka alergi dangan rejim yang ada, ormas yang selama ini dianggap payung seprti MUI dapat menfasilitasi. Dalam suasana seperti ini, tidak cukup oleh anggota MUI, tetapi anggota MUI plus. Sebagai contoh, Orang seperti Ustadz Abdul Somad, Ustadz Ikhsan Tanjung yang agak berseberangan perlu berhadapan dengan Gus Baha dan Prof. Quraish Shihab.
Memang tidak mungkin menyatukan pendapat tentang suatu hal secara aklamasi. Dengan mengambil pelajaran bagaimana menyikapi awal puasa dan hari raya, merumuskan pemahaman ajaran agama yang diapat diterima oleh seluruh lapisan ummat adalah sesuatu yang absurd, meskipun dalil rujukan utamanya sama, yaitu Alqur’an dan Al Hadits. Akan tetapi, setidaknya ulama/ tokoh yang saling bersebarangan itu telah mendapat forum dan telah diketahui kadar kepakarannya oleh umat di hadapan lembaga yang berkompeten. Tidak hanya, pandai berkhotbah secara liar di medsos.

Tantangan berikutnya juga bisa disebabkan oleh sikap sekelompok intelektual yang sok tahu agama. Dikatakan sok tahu, karena mereka ini sebenarnya sama sekali tidak pernah menekuni pelajaran agama, akan tetapi mereka telah memiliki capaian akademik tinggi (sebut saja para professor doctor). Derajat akademiknya sering membuatnya tidak tahu diri dalam posisi dan ruang mana mereka berada. Mereka sering mengomentari fatwa-fatwa keagamaan dari “orang alim” dengan logika-logika akademiknya yang mereka anggap absolut. Sekilas, logika-logika dan retorikanya, tampak logis dan menarik tetapi membuat tertawa bagi yang pernah belajar agama sejak kecil. Hal demikian pernah dialami oleh seorang pakar agama ketika suatu ketika menulis di sebuah harian nasional. Tokoh Islam ini pada pokoknya melontarkan ide perlunya reformulasi ajaran agama dalam merespon persoalan dunia masa kini. Segera saja tulisan itu mendapat respon oleh seorang yang sok tahu itu dengan menulis di harian yang sama. Pada pokoknya penulis yang reaktif itu, mengatakan bahwa “ajaran Islam sudah jelas dan sempurna” mengapa diubah-ubah?, katanya. Kalimat yang kurang lebih bernada jargon “Islam sudah final dan menjawab tatangan zaman” pun dilontarkan secara serampangan. Diapun, akhirnya juga mempertanyakan otoritas dan kompetensi tokoh Islam itu sehingga berani mengubah-ubah ajaran Islam yang sempurna dan paripurna ini.

Di negeri Indonesia ini, jumlah orang seprti itu saat ini sangat banyak. Di negara demokrasi terbesar ketiga ditunjang era informasi digital ini, orang-orang seperti itu kini semakin mememukan panggungnya. ‘Khotbah-khotbah’ mereka tentang agama sering membius masyarakat dan karenanya juga sering membuat repot para ahli agama yang sesungguhnya. Akan tetapi, eksistensi mereka justru harus menguatkan kita untuk mewujudkan formulasi-formulasi ajaran agama dalam bentuk fikih ala Indonesia yang berkaitan dengan isu pandemi ini. Baik yang pro dan kontra pendapatnya diformulasikan dan didokumentasikan dalam bentuk ‘fikih pandemi’. Dari situ diketahui bagaimana hukum salat berjamaah di masjid, hukum salat id di masjid, cara salat di musim penyakit menular, hukum memakai masker, hukum jumatan di era pendemi dan sejumlah persoaan agama lain yang memerlukan respon dari kacamata fikih. Bukankan model seperti ini sudah pernah dilakukan oleh para ulama ketika merumuskan Kompilasi Hukum Islam. Dan, jika di daerah tertentu sudah ada ulama yang merumuskan “fikih polisi”, kapan fikih tentang covid-19 di atas lahir? Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait