Mewaspadai Penggunaan “GADGET” Oleh Anak-anak Kita

  • Whatsapp

Oleh : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas I A)
Penggunaan gadget (gawai) oleh anak-anak kini terasa semakin ‘wajib’ diwaspadai. Setidaknya, Jawa Pos (27/07/18) ‘melaporkan’ ancaman yang dihadapi anak-anak ketika orang tua abai terhadap penggunaan gadget yang semakin marak. Di Perancis, penggunaan gawai di sekolah kabarnya resmi akan dilarang mulai September nanti. Persoalannya, apakah pemerintah, dalam hal ini menteri pendidikan kita juga telah menyiapkan sejumlah langkah untuk itu. Kalaupun belum, sedari dini para pendidik dari TK sampai SLTA perlu tahu dan memberikan ‘penyuluhan’ tentang ‘madharat’ gadget bagi anak-anak. Kata-kata guru di sekolah bisaanya lebih digugu dan ditiru anak dari pada orang tuanya.

Akan tetapi, realitas memang menunjukkan, bahwa melarang penggunaan gudget bagi anak memang tidak semudah yang dibayangkan. Barbagi faktor ikut mempengaruhi antra lain, faktor keluarga, faktor sosial dan faktor pendidikan. Faktor keluarga tidak ada norma yang jelas yang dijadikan patokan kegiatan bagi anak, seperti jadwal harian kegiatan yang sama-sama harus dilaksanakan. Bagi keluarga tertentu ada yang bisa membuat jadwal harian secara teratur dan harus dilaksanakan penuh tanggung jawab oleh siapun dalam keluarga, seperti jam sekian salat, jam sekian membaca tadarus alqur’an, jam sekian harus sudah tidur. Pada saat yang sama juga banyak yang tidak mampu membuat jadwal kegiatan tersebut karena berbagai hal, seperti karena suami istri yang sama-sama sibuk di luar. Membelikan HP canggih justru menjadi salah satu kompensasi ketidak mampuan orang tua ‘menemani’ anak di rumah. Atau, dengan bahasa anak-anak, dapat dikatakan: membelikan HP canggih sekedar agar anak-anak berhenti menangis. Padahal, justru dari sinilah awal petaka anak, bahkan keluarga, terjadi. Semula anak hanya bermain game sederhana kemudian game online. Di sela-sela main game pun anak-anak kemudian berselancar ke dunia maya yang jauh melampai batas teritori kampung halaman, bahkan negara. Orang tua lupa atau bahkan mungkin ada yang belum tahu, bahwa di dunia maya anak bisa mendapatkan informasi apa saja, baik yang baik maupun yang buruk.

Di dunia maya tidak hanya ada malaikat tetapi juga ada setan. Tidak hanya ada surga tetapi juga neraka. Di dunia maya memang ada pengajian tetapi juga ada sajian dunia hitam yang dikemas secara menarik. Bahkan, dalam skala tertentu akibat perselancaran dunia maya kebaikan dan kejahatan itu bisa terjadi di dunia nyata. Kasus kejahatan para pedhopilia yang memburu anak-anak, perdagangan manusia, sebagian berawal dari dunia maya. Anak-anak belum mengerti, bahwa teman chattingnya yang jahat memiliki multiple identity (indentitas ganda). Ketika sudah menginjak remaja persoalannya semakin parah. Kalau dulu anak-anak, yang sudah kecanduan game bisa dikendalikan, kini setelah usia remaja seiring masa pubertas, anak sudah agak sulit dikendalikan.

Kondisi dalam keluarga tersebut tampaknya juga tidak bisa lepas dari faktor sosial. Peredaran handphone (HP) kini tampaknya telah marak sampai ke penjuru pelosok kampung. Sekarang sulit ditemukan, anak-anak yang tidak mempunyai HP android dengan segenap aplikasi canggihnya. Bisa saja kita melarang anak kita memiliki HP android, akan tetapi bisakah kita memutus agar anak kita tidak bersentuan dengan teman-temannya. Di rumah anak kita mungkin bisa tidak bertemu tetapi bertemu di sekolah dan di luar jam pelajaran anak kita ikutan bermain game. Dari kebisaaan bermain memakai HP temannya, kemudian anak-anak ‘memaksa’ orang tua agar membelikan HP serupa untuknya. Bahkan, tidak jarang orang tua yang sok gengsi, justru membelikan HP jauh lebih mahal dari milik temannya untuk anaknya dan tentu dengan segala risiko yang ditimbulkannya.

Di era wajib belajar (wajar) 9 tahun dengan relitas hampir 99 persen anak memasuki sekolah, maka yang kita harapkan sebenarnya juga peran sekolah. Mengapa? Berbicara sekolah pada hakikatnya membicarakan dunia pendidikan. Sekalipun sekolah bukan satu-satunya penunjang keberhasilan pendidikan anak, akan tetapi tidak dipungkiri bahwa peran sekolah sangat besar. Di era modern, saat orang tua dan masyarakat semakin berkurang kesempatannya mendidik anak-anak, maka sekolah diharapkan menggantikan peran itu. Penambahan jam sekolah bebarapa waktu lalu, salah satu menjadi alasan mungkin berangkat dari kesadaran itu.

Persoalannya, apakah selama ini sekolah sudah mengambil peran terhadap pengenalan bahaya gadget ini bagi anak?. Secara empirik justru sering kita saksikan sekolah sekolah sering gagal mengendalikan kepemilikan HP. Dulu saat black berry beredar, hampir semua anak orang mampu memiliki dan dengan bangganya membawanya ke sekolah. Ironis memang, kepemilikan murid terhadap benda canaggih dan pengetahuan tentangnya kadang-kadang melampau gurunya sendiri. Ketika murid mengoperasikan berbagai sosmed ada guru yang belum mengerti whatsApp, bahkan alergi mempelajarinya. Ketika kemudian, gurunya tahu ‘nikmatnya’ ber-android gurupun ikutan euphoria berandroid ria. Tugas-tugas kependidikan perlunya mengawasi penyalah gunaan HP lambat laun dilupakan. Beberapa tahun lalu Bupati Banyuwangi pernah mewacanakan agar anak dilarang membawa HP di sekolah. Akan tetapi, ajakan itu tampaknya kurang mendapat respon proposrsional, kecuali sekolah-sekolah tertentu. Orang nomor satu di kabupaten ujung Timur Pulau Jawa itu, melemparkan ide itu karena tahu sendiri, bahwa di negara asalnya, kepemilikan Black Berry tidak bisa dilakukan oleh semua usia. Secara masif negara ikut bertanggung jawab melakukan regulasi dan pengawasannya.

Sebagai penutup ada baiknya kita kemukakan lagi pengamatan seorang kolumnis Rahma Sugiaharti ( Jawa Pos, 06/08/2018) akan bahaya gadget bagi anak : Pertama, akan menimbulkan perubahan perilaku sehari-hari anak. Yang semula biasa-biasa saja, dalam tempo cepat anak-anak akan manjadi kasar. Kedua, anak yang kecanduan gawai pada umumnya akan berisiko kehilangan waktu bermain, anti sosial. Ketiga, anak-anak yang kecanduan gawai tidak hanya berisiko adiktif, tetapi juga berisiko terpapar pornografi. Keempat, anak yang kecanduan gawai, dalam batas-batas tertentu, juga berisiko menjadi korban kejahatan siber ( cyber ). Ketika, bersentuan dengan orang asing yang baru dikenalnya, anak-anak akan mudah terpedaya. Maklum anak yang masih lugas hanya mengenali orang apa yang dilihat dan belum mengerti tipu muslihat. Padahal, penjahat yang di depanya sedang memakai identitas ganda dan untuk mencapai mangsa di depannya menggunakan berbagai tipu muslihat.

Syukurlah kini kita memang agak bernafas lega karena sejak 7 Agustus 2018 lalu pemerintah, secara resmi telah memblokir seluruh situs porno dan mengandung unsur pornografi. Sebenarnya penghapusan konten-konten pornografi di mesin-mesin pencari sudah dilakukan kemkominfo sejak bebera waktu lalu. Namun, penghapusan baru sebatas laman, sementara pencarian images atau gambar masih ada. Akan tetapi, setelah 7 Agustus 2018 lalu semua konten-konten pornografi tidak dapat di akses lagi karena semua penyedia jasa internet ISP dan APJII wajib mengaktifkan Safe Mode di berbagai search engine. Dengan mengaktifkan Safe Mode, kalau ada pengguna yang melakukan pencarian berbau prnografi hasilnya tidak muncul lagi.

Namun sampai kapan hal ini berlangsung. Pengalaman menunjukkan dengan kecanggian pengetahuan dan kreativitas jahat, ada sekelompok orang yang selalu saja bisa membobol hal-hal yang sudah dikunci rapat. Padahal, akibat buruk gadget tidak sebatas bersumber dari pornografi.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait