Negeri Mabuk Halal Dan Korupsi Bersyariah

  • Whatsapp

Oleh :
Rudi S Kamri

Syahdan di sebuah negeri yang indah yang terhampar di garis khatulistiwa. Ratusan juta penduduknya berserak di 7000 pulau. Dari berbagai etnis, agama dan bahasa. Sampai berulangtahun ke 60 kemerdekaan bangsa itu, negeri itu berjalan rukun, toleran dan penuh kedamaian. Saat waktu berjalan cepat dan demokrasi menggeliat, muncullah berbagai keanehan di negeri tersebut. Di berbagai momentum muncullah para manipulator agama bak jamur di musim penghujan. Karena ada pembiaran dari negara para manipulator menjadi leluasa menguasai negeri.

Para manipulator agama itu cerdas melirik potensi rejeki dari para umat. Dakwah agama dijadikan sebuah industri. Para pendakwah agama meskipun bukan jebolan pesantren dan hanya belajar agama dari YouTube, mereka bisa percaya diri bermunculan secara instan dan mendadak jadi selebriti.

Untuk menjadi pembeda dan agar disukai publik, penampilan mereka harus klimis. Kalau giginya terlanjur berantakan maka ceramahnya harus dibuat keras atau dibumbui ujaran kebencian terhadap pemerintah. Dalil pembenaran gampang dicari dan direkayasa karena mereka tahu jamaah mereka bodoh. Jadi mereka tahu pasti sajian apapun asal dikemas dengan bernas akan dilahap habis. Para pendakwah agama itu sejatinya seorang manipulator yang ulung. Agama yang seharusnya menjadi pencerah seketika diubah mereka menjadi alasan pemecah belah. Dengan cara itu mereka menjadi yang kaya raya.

Ada lagi komoditas yang menggiurkan yang bisa digarap oleh para manipulator agama, yaitu bisnis Sertifikat Halal. Bisnis industri raksasa dengan potensi omzet super jumbo. Puluhan tahun bisnis ini dimonopoli oleh organisasi ulama mereka yang sejatinya hanya kelompok ormas. Dengan bantuan agen para pendakwah agama, umat dan produsen ditakut-takuti sehingga istilah Halal seolah menjadi barang sakral.

Produk dengan label halal menjadi produk bergengsi dan seolah dianggap sah untuk dinaikkan harganya. Karena pelaku industri tahu pasti untuk mendapatkan sertifikat HALAL memerlukan biaya yang sangat besar. Dan selama puluhan tahun semua uang triliunan itu masuk di kas kelompok ulama tersebut tanpa pernah ada laporan ke publik atau auditable. Dan ulama mereka juga menjadi kaya raya.

Dan yang orang lupa menelisik adalah bangkitnya industri raksasa pakaian bergaya Arab di negeri itu. Melalui para pendakwah yang menghalal-haramkan cara berbusana, para produsen busana halal versi mereka marak dan menangguk untung yang luar besar. Berbusana yang agamis saat ini telah menjelma menjadi sebuah gaya hidup yang dogmatis sekaligus hedonis. Dan secara perlahan berpotensi menggeser pakaian tradisi seperti kebaya dan berbusana anggun lainnya.

Dan geliat industri pakaian bergaya Arab diikuti dengan produk lain seperti shampoo untuk rambut yang tertutup seharian. Apakah para pendakwah agama itu mendapatkan ‘success fee’ dari industri busana agamis ? Konon kabarnya iya tapi seperti buang angin, baunya nyata tapi bentuknya hanya fatamorgana.

Pendek kata para manipulator agama di negeri itu memaksakan diri mengubah agar negeri menjadi syar’i. Tapi penetapan syariah atau tidak harus dicari angle yang menguntungkan mereka secara finansial. Kalau tidak ada uangnya, biarkan saja. Termasuk korupsi atau maling uang rakyat, mereka bebas karena tidak ada pernyataan tegas dari kelompok manipulator agama. Mungkin bagi mereka korupsi boleh dilakukan asal dilakukan secara syariah. Apalagi kalau korupsi dilakukan secara syariah dan berjamaah. Sah sudah !!!

Di sisi lain beberapa kelompok orang tertentu sudah ditarik menjadi penganut madzhab Takfiri, mereka begitu mudah mencerca orang yang bukan bagian dari mereka sebagai kafir. Mereka sudah berani mengambil alih wewenang Tuhan. Merekapun juga begitu mudah mengiming-imingi surga dan ancaman api neraka. Mereka seolah telah ditunjuk Tuhan menjadi panitia hari kiamat.

Sampai kapan negeri aneh tersebut bisa bertahan, kalau negara seolah tidak pernah hadir untuk mencegah dan terus melakukan pembiaran ? Entahlah, yang jelas negeri syariah itu berjalan ke arah yang salah. Pemimpin negara asyik meningkatkan ekonomi dan teknologi, tapi membiarkan rakyatnya dikibuli dan dibodohi.

Itu negeri antah berantah, bukan negeri Indonesia. Meskipun saat membaca ini saya seolah nyata dan ada di dalamnya. Ah jangan-jangan ini memang Indonesia ?
Entahlah…..

Salam SATU Indonesia,
23112019

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *