Perihlah, Maka Jiwamu Bebas dan Merdeka

  • Whatsapp
Heti Palestina Yunani

Renungan Hari Pendidikan Nasional oleh Heti Palestina Yunani

Ini klise! Jadi mencibirlah pada kalimat ini: pedih, perih, atau meluka tak terperi adalah cara Tuhan mendidik manusia. Wah siapa yang mau? Tak seorang pun. No one! Saya pun tidak meski sering itu dibungakan kata oleh para pembijak sejak lama untuk membujuk diri bersabar atas susah payah. Tapi hukum alam-kitab bilang; satu-satunya cara Tuhan untuk membuat manusia mampu mendidik dirinya sendiri -yang merupakan bagian tersulit-, kerap kali bahkan 99 persen melalui proses itu; perih, pedih, dan meluka. Artinya kalau tak mau melewati itu, pendidikan Tuhan tetap jalan terus. The show must go on. Jadi, tak ada kelit, tak ada hindar, jalani.

Kata Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah mencetak manusia merdeka; seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Jika salah satu keberhasilan pendidikan, -secara privat-, adalah memerdekakan jiwa seseorang, maka di Hardiknas ini saya justru ambil contoh Kartini. Bukan tak menghargai Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan itu. Tapi saya ingin sharing kalau dari sekian manusia, Kartini adalah contoh pendidik diri sendiri yang super sukses yang dimaksudkan Ki Hajar Dewantara. Kepedihan karena kekecewaan mendalam dan mendera bukan kepalang, pernah dilampauinya demi mendidik dirinya sendiri. Tapi Kartini mencatat itu sebagai kemenangan diri sekaligus jiwa, yang tertinggi.

Sejarah tahu, banyak kegagalan yang diterima Kartini. Ia berjuang untuk banyak hal, ironisnya semua tak bisa ia nikmati sendiri. Dari sekian kegagalan itu, yang terperih adalah gagal melanjutkan sekolah. Tak tanggung-tanggung setelah gagal menuju HBS Semarang, ia juga urung ke Belanda. Kalau tergapai, dua sekolah ini persis yang dicapai kakak laki-lakinya, Sosrokartono. Bukan hanya itu, tiket menuju sekolah pengganti di Batavia pun tak kunjung datang. Alasan salah satunya sangatlah menyakitkan: ia tak sekadar dilarang atau tanpa restu orang tua tapi adat lah yang jadi tembok tertinggi; perempuan bangsawan sepertinya disiapkan hanya untuk menjadi Raden Ayu.

Padahal harapan Trinil -panggilan kecilnya- sederhana; ingin menjadi guru. “Saya ingin dididik menjadi guru. Ingin mencapai dua ijazah, yaitu ijazah guru sekolah rendah dan ijazah guru kepala.” Selain itu ia ingin mempelajari ilmu keperawatan dan ilmu kesehatan. Kecewa? Sangat! Ketika ayahnya tak mengizinkan ke Semarang, Kartini mengurung diri berhari-hari di kamar. Tapi ia perempuan tegar, bacaan yang dikirim ayah dan kakaknya menjadi sedikit obat. Kartini terus belajar sendiri karena ia berpendapat pendidikan bagi perempuan, serupa modal membangun jiwa manusia: “Dialah (perempuan) yang paling banyak bisa membantu meningkatkan kadar kesusilaan manusia.”

Sebenarnya niat Kartini melanjutkan pendidikan terbuka terang. Permohonan beasiswa yang diajukannya kepada Pemerintah Belanda lewat Ir H H Van Kol, seorang anggota 2de Kamer, diterima tertanggal 26 November 1902. Catat; itu hanya berjarak 3 hari setelah ia menikah! Namun pertimbangan Abendanon mempengaruhi keputusan Kartini. Abendanon merayunya untuk bersekolah di Batavia saja. Bahkan Abendanon mengizinkan Kartini membuka sekolah tanpa ijazah. Tapi saat menunggu kepastian bisa bersekolah di Batavia, datang lamaran Bupati Rembang yang kemudian menjadi suaminya. Lagi-lagi, ia perih! Adat yang menjadikannya tunduk pada dominasi adat dan laki-laki, dipatuhinya.

Di saat puncak perih, pedih, dan meluka itu, Kartini mengobati dirinya sendiri. Ia adalah perempuan yang benar-benar mengartikan kata ‘luar biasa.’ Bagaimana tidak? Justru datang inisiatifnya untuk memberikan beasiswa yang sedianya disiapkan untuknya dan adiknya, kepada pemuda bernama Agus Salim, seorang siswa HBS asal Riau, Sumatera, yang ingin belajar menjadi dokter di Belanda. Dana untuknya sebesar f 4.800 berdasarkan keputusan Gubernamen 7 Juli 1903 disarankannya dipakai Agus Salim. Ada lagi yang disebut pengorbanan; Kartini masih berupaya mencarikan dana kekurangan sebesar f 3.200 dari orang lain!

Apa ini yang disebut gagal dalam hidup Kartini? No! Inilah sebuah kebesaran jiwa yang hanya dipunyai orang berpendidikan! Saya kira Kartini lah pemenang ujian kehidupan dari segala pendidikan di dunia ini. Ia melewatkan semua jalan umum menjadi manusia berpendidikan, justru demi orang lain agar memperoleh pendidikan. Ia mau orang bahagia seperti yang ia bilang; “Buatlah kami bahagia, dengan cara membuat kebahagiaan bagi orang lain yang memiliki keinginan, perasaan, dan cita-cita yang sama dengan kami.” Anda bisa melakoni itu? Bisa, jika pendidikan telah Anda lampaui hahikatnya. Mari kita belajar pada idola ekstrem saya ini.

Dalam sisi memandang keberhasilan pendidikan yang dikejar orang dengan gengsi atau demi status sosial, Kartini mencontohkan diri bagaimana manusia harus memperoleh segala tujuan pendidikan dengan memerdekakan jiwa kita sendiri lebih dulu. Ia pula yang menepis ukuran keberhasilan pendidikan seseorang dari gelar yang disandang atau profesi sesuai stratanya di masyarakat. Seperti katanya; “Cukuplah menderita perih untuk kebahagiaan orang lain, maka jiwa kita telah bebas dan merdeka.” Kiranya itulah nilai kebahagiaan tertinggi buah dari pendidikan yang berhasil. Maka saya ajak diri ini; tunaikan menempuh pendidikan Tuhan atas dirimu sendiri. Anyone? Semoga!

Selamat mendidik diri kita sendiri. Selamat Hari Pendidikan teman-teman. (*)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *