Ardiansyah Penjual Gorengan Belajar Hidup Mandiri

  • Whatsapp

Rahma Besman
Mahasiswa KPI FDK UIN Alauddin Makassar
Melaporkan dari Gowa Sulsel

Di tengah panas terik seorang anak lelaki dengan kulit hitam hangus terbakar matahari menjajakan dagangannya.
Terkadang Ia terlihat mengusap keringatnya yang bercucuran dengan jaketnya yang lusuh. “Jalangkootee, Panaadaa, Pisang goreeeng” teriaknya. Suaranya nyaring terdengar meski dari jauh.

Namanya Muhammad Ardiansyah, ia kerap disapa Ian. Usianya masih belia namun Ian sudah merasakan bagaimana susahnya mencari uang demi sesuap nasi.

Meski masih duduk di bangku kelas 6 SD dan sebentar lagi menjalani UN setiap sorenya dia masih berkeliling menjajakan dagangannya di sekitar Jalan Veteran Bakung Samata, Gowa.

Ian tak sendiri, ada Amelia adik kandungnya yang juga ikut berjualan. Namun mereka menjual secara terpisah, biasanya Ian yang berangkat lebih dulu selang beberapa menit setelahnya Amelia menyusul di belakangnya meneriakkan hal yang sama seperti kakaknya.
]
Siswa SD Inpres Bakung itu sudah terbiasa hidup mandiri. Orang tuanya yang juga menjual gorengan mengajarkan Ian menjalani kerasnya hidup. Gorengan yang dibuat ibunya biasanya dijajakan juga oleh ayahnya di sekolah-sekolah saat pagi. Penghasilannya lumayan untuk biaya hidup. Sebab jualannya selalu laris Ian dan adiknya bisa mendapatkan hasil Rp 170.000 – Rp 200.000 per hari.

Ian hanyalah satu dari sekian banyaknya anak yang mengesampingkan waktu bermainnya demi membantu orang tua.
Tak ada gengsi, tak ada rasa malu. Malah Ian merasa bangga karena diusia yang masih 12 tahun itu dia bisa menghasilkan uang sendiri. Apalagi pekerjaan itu tidak menganggu sekolahnya.

Meski banyak yang beranggapan bahwa orang tua terkadang memaksa anak-anaknya bekerja karena faktor kemiskinan.
Kemiskinan yang dapat berdampak pada perampasan hak-hak anak. Mereka seharusnya menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya yang sebaya. Bahkan tak jarang anak-anak tersebut harus putus sekolah.

Namun setidaknya Ian dan adiknya masih bisa menikmati bangku sekolah hingga sekarang. Bermain bersama temannya meski waktu yang terbatas. Apalagi mereka melakukan dengan hati yang lapang tanpa paksaan. Ditambah lagi penghasilan mereka jauh dari kata cukup. (rahma besman)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *