Menyoal Membludaknya Perkara Dispensasi Kawin

  • Whatsapp

Oleh: Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, SHI.M.Si***

Perkara dispensasi nikah (Diska) di peradilan agama meningkat tajam terutama pasca disahkannya UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun untuk pria dan wanita.

Data SIPP MA RI menunjukkan bahwa pada tahun 2020 jumlah perkara Diska adalah 55.952 perkara. Data tersebut merupakan data dari bulan januari sampai dengan 9 Nopember 2020. Melihat rata-rata kenaikan, pada Desember 2020 diperkirakan bisa tembus 60.000 an lebih perkara Diska.

Jumlah tersebut meningkat seratus persen lebih dibanding data diska tahun 2019 yaitu 23.792 perkara. Peningkatan perkara diska sungguh sangat drastis.

Menurut estimasi UNICEF, kalau semua orang tua di Indonesia mengikuti perubahan UU Perkawinan maka perkara dispensasi nikah diperkirakan akan meningkat mencapai 2,000,000 (dua juta) perkara per tahun (Sumber data UNICEF berdasarkan data Susenas 2018 tentang wanita usia 20-24 menikah sebelum berusia 19 tahun).

Membludaknya perkara Diska ini harus menjadi keprihatinan semua pihak. Harus menjadi bahan evaluasi semua pemangku kebijakan terkait. Bagaimanapun fenomena ini tidak sesuai harapan tujuan awal perubahan usia kawin.

Alasan Diska

Diska adalah pemberian ijin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 tahun 2019 menegaskan bahwa dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur (batas minimal usia kawin), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership For Justice 2) pernah melakukan penelitian tentang analisis putusan dispensasi perkawinan tahun 2018 sejumlah 13.880 perkara Diska.

Hasil penelitian tersebut mengklasifikasi alasan permohonan diska menjadi 6 alasan, yaitu 31 % karena anak perempuan sudah hamil; 25 % karena kedua anak sudah saling mencintai; 21 % karena anak berisiko melanggar nilai agama; 16 % karena anak sudah melakukan hubungan seksual; 8 % karena anak melanggar nilai sosial; dan 4 % karena berisiko berada dalam hubungan seksual. Dari jumlah perkara Diska tersebut, 99 % perkara diska dikabulkan oleh hakim, dan 1 % ditolak.

Dari data diska tahun 2019 sejumlah 23.792 perkara, yang dikabulkan sebanyak 21.564 (91 %) dan dari data diska januari sampai 9 Nopember 2020 sejumlah 55.952 perkara, yang diputus sebanyak 53.860 perkara dan 119 dicabut. Dikabulkannya mayoritas perkara diska menunjukkan bahwa perkawinan anak dibawah umur mengalami peningkatan yang signifikan.

Respon Cepat MA

Fenomena dikabulkannya diska tidak serta merta publik menyalahkan hakim sebagai penyebab utama perkawinan anak. Persepsi ini tentu tidak tepat. Hakim ketika sudah menjalankan tugas mengadili diska sesuai ketentuan hukum dan pedoman yang ada, maka hakim harus dinilai melaksanakan tugasnya secara professional.

Apalagi MA juga sudah merespon cepat dengan membuat kebijakan Perma Nomor 5 tahun 2019 tentang pedoman mengadili perkara Dispensasi Kawin. MA sangat menyadari potensi membludaknya perkara Diska di pengadilan pasca dinaikkannya usia perkawinan anak. Oleh karena itu, tidak lama setelah disahkannya UU Nomor 16 tahun 2019 tersebut, Perma Nomor 5 tahun 2019 juga disahkan.

Perma tersebut menjadi pedoman hakim dalam mengadili perkara diska. Perma juga bentuk nyata komitmen MA dalam menjamin pencegahan perkawinan anak dan upaya perlindungan hak-hak anak agar berjalan efektif sesuai kewenangan MA terkait penyelesaian perkara Diska.

Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 tahun 2019 membatasi perkara diska hanya dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Alasan sangat mendesak adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Bukti-bukti pendukung yang cukup adalah surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan.

Sebagai tindaklanjut atas ketentuan UU Nomor 16 tahun 2019, Isi Perma mengatur sejumlah pedoman hukum yang sangat berorientasi pada pencegahan perkawinan anak dan perlindungan hak-hak anak sebagaimana amanah UU perkawinan tersebut. Pedoman hukum dalam perma tersebut juga menjadi bukti bahwa persepsi publik yang menjadikan hakim sebagai penyebab perkawinan anak adalah salah dan tidak tepat.

Perma tersebut harus dijadikan pedoman hakim dalam mempertimbangkan dan menggali “alasan sangat mendesak” dan “bukti-bukti pendukung yang cukup” sebagaimana ketentuan UU Perkawinan tersebut.

Diantara pedoman hukum dalam perma tersebut adalah ketentuan tentang kewajiban penasihatan hakim, pemeriksaan perkara dan pembuktian, serta hal-hal yang harus ada dalam pertimbangan hukum.

Penasihatan hakim besifat imperatif, harus dilakukan dan bahkan jika hakim tidak memberikan penasehatan akan mengakibatkan penetapan disepensasi kawinnya menjadi batal demi hukum. Pihak-pihak yang harus diberikan nasehat oleh hakim adalah nasihat kepada pemohon, anak, calon suami/isteri dan orang tua/wali calon suami/Isteri.

Nasihat bertujuan agar mereka memahami risiko perkawinan, terkait dengan kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak; keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun; belum siapnya organ reproduksi anak; dampak ekonomi, sosial dan psikologis bagi anak; dan potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam pemeriksaan perkara dan pembuktian, ada sejumlah pihak yang harus didengar keterangannya oleh hakim dalam pemeriksaan perkara yaitu anak, calon suami/isteri, orang tua/wali anak, dan orang tua/wali calon suami/isteri.

Hakim harus mempertimbangkan keterangan pihak-pihak tersebut penetapan dispensasi kawin. Dalam hal Hakim tidak melaksanakan ketentuan ini maka akan mengakibatkan penetapan batal demi hukum (pasal 13 Perma 5/2019).

Dalam pemeriksaan, hakim harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dengan memperhatikan hal-hal berikut diantaranya menggali latar belakang dan alasan perkawinan Anak; menggali informasi terkait ada tidaknya halangan perkawinan; menggali informasi terkait dengan pemahaman dan persetujuan Anak untuk dikawinkan; mempertimbangkan kondisi psikologis, sosiologis, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi anak dan orang tua, berdasarkan rekomendasi dari Psikolog, Dokter/Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD); mempertimbangkan ada atau tidaknya unsur paksaan psikis, fisik, seksual dan/ atau ekonomi; dan memastikan komitmen Orang Tua untuk ikut bertanggungjawab terkait masalah ekonomi, sosial, kesehatan, dan pendidikan Anak. (secara lengkap dapat dibaca dalam pasal 16 perma 5/2019).

Semua keterangan dan alat bukti dalam pemeriksaan diatas harus dipertimbangan secara cermat dan mendalam oleh hakim dalam pertimbangan hukum putusan sehingga hakim menilai “alasan sangat mendesak” sudah terpenuhi atau belum dan bukti-bukti pendukung dinilai cukup atau tidak, sebelum pada akhirnya hakim memutuskan akan mengabulkan atau menolak perkara diska.

Sekali lagi, ketika hakim sudah memedomani ketentuan hukum diatas, maka hakim harus dinilai melaksanakan tugasnya secara professional. Jika diska dikabulkan kemudian ada perkawinan anak maka pendapat dan persepsi yang menilai hakim sebagai penyebab utama terjadinya perkawinan anak tidaklah tepat.

Tetapi, jika hakim yang memeriksa perkara diska tidak memedomani perma no 5/2019 dan tidak mempertimbangan secara cermat dan mendalam terkait “alasan sangat mendesak” dalam pertimbangan hokum, maka hakim tersebut patut dinilai tidak professional.

Rekomendasi Perbaikan

MA telah merespon dengan cepat. Tetapi persoalan perkawinan anak adalah persoalan kompleks dan terkait banyak pihak terutama pemerintah (eksekutif), komnas anak dan perempuan, LSM, MUI dan Ormas keagamaan. Untuk itu untuk perkawinan anak harus didekati dengan pendekatan yang holistik, bukan parsial.

Pemerintah seharusnya memberikan respon cepat dengan kebijakan yang komprehensif dan efektif untuk mencegah perkawinan anak. Juga melakukan sosialisasi secara massif dan membangun kesadaran hukum masyarakat akan dampak dan bahaya perkawinan anak .

Pemerintah (eksekutif) dalam hal ini adalah kementrian perempuan dan anak, kemenag, kemendikbud, pemerintah propinsi dan kabupaten sampai pemerintah desa. Selama ini, pasca disahkannya UU Nomor 16 tahun 2019 yang menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun untuk pria dan wanita, belum ada kebijakan komprehensif dan upaya nyata sosialisasi secara massif dan efektif.

Komnas anak dan perempuan dan LSM yang bergerak dibidang anak dan perempuan juga harus ikut bertanggungjawab dan aktif melakukan gerakan pencerahan membangun kesadaran hukum masyarakat.

Tidak hanya itu, MUI dan ormas keagamaan (NU, Muhammadiyah, dan lain-lain) serta tokoh-tokoh agama juga harus ikut serta aktif mengkampayekan bahaya perkawinan anak dengan melakukan reinterpretasi atas teks-teks agama agar lebih berorientasi pada pencegahan perkawinan anak.

Peningkatan kapasitas dan kompetensi hakim terkait perma nomor 5/2019 dan dampak perkawinan anak juga harus dilakukan oleh MA. Penting diadakan diklat sertifikasi hakim spesialis diska sebagaimana sertifikasi hakim ekosyar. Hakim adalah palang terakhir pencegahan perkawinan anak sehingga harus mempuyai pemahaman yang benar dan kemampuan yang mendalam tentang hal tersebut.

Membludaknya diska harus menyadarkan kita untuk berani mengevaluasi secara menyeluruh semua kebijakan dan sosialisasi dampak perkawinan anak. Tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum oleh hakim, tapi juga harus dengan pendekatan agama, budaya, sosial, pendidikan, kesehatan dan psikologi dengan melibatkan semua pemangku kebijakan terkait. Akankah hal tersebut akan terwujud? Semoga.

***Wakil Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Kelas IB.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait